The Art of Losing

Saya adalah tipikal manusia yang sering lupa (perlu di-BOLD saking seringnya, ahahaha). Lupa meletakkan kacamata di mana, sering kehilangan kunci mobil karena lupa ada di mana, lupa parkir di mana dan sebagainya. Ini adalah kebiasaan buruk dan penyakit ajaib yang saya derita dari dulu dan bener deh, ga ngerti lagi gimana ngobatinnya.

But when it comes to people or a person, saya sulit lupa. Saya punya memori baik untuk mengingat nama (bahkan nama lengkap) dan wajah seseorang, bagaimana orang tersebut berperilaku, cerita di balik orang itu, kejadian yang pernah ia atau orang lain ceritakan kepada saya dan lain sebagainya.

Agustus yang lalu saya diberikan pelajaran berharga dari Allah SWT. Saya kehilangan calon bayi setelah hampir 1,5 tahun menanti kehadirannya bersama suami. Oke, ini rasanya sedih, apalagi mendapati bahwa sesuatu yang kita tunggu-tunggu kehadirannya kemudian secepat kilat udah ngga ada dan bahwa proses mendapatkannya saja buat saya sudah menjadi pengalaman "mestakung" yang tidak akan pernah saya lupakan seumur hidup saya. Eh wait, maksudnya "mestakung" adalah ketika alam semesta sepertinya merestui akan apa yang kita dapatkan atau kejadian yang kita alami, mirip-mirip film Serendipity gitu deh, segala sesuatunya meant to be

Dua hari sebelum lebaran, tepatnya 6 Agustus 2013 akhirnya saya dikuret karena janin yang saya kandung tidak berkembang, saya percaya ini memang sudah jalannya dan saya percaya bahwa mungkin ini belum saatnya. Saya belum dipercaya sama Allah SWT, saya masih dikasih waktu untuk memperbaiki diri sebelum nantinya jadi seorang ibu. Saya berusaha kuat, berusaha bangkit dan gak lupa berdoa dan mengingatkan diri sendiri agar selalu berusaha memantaskan diri supaya nanti diberi kepercayaaan lagi oleh Allah SWT. Dan kesedihan saya pun berangsur berkurang, hingga datang kabar itu, sebuah kabar yang menyesakkan hati saya.

Fenina Faine a.k.a Otsuke.
Seorang sahabat yang saya kenal sejak 2006. Ngga kerasa, kami sudah berteman 7 tahun lamanya dan di tanggal 11 Agustus 2013, Otsu berpulang ke Rahmatullah. Inna lillahi wa inna ilaihi ro'jiun. Dan ini rasanya sedih banget, apalagi mendapati kenyataan bahwa saya belum sempat bertemu dengannya selama masa perawatannya di rumah sakit.

Masih tersimpan di memori otak dan handphone saya, percakapan kami lewat BBM, bagaimana seperti biasanya si perempuan keras kepala ini "ngomel" akan berbagai hal dan saya selalu menanggapinya dengan komen singkat ala saya yang kerap membuat dia kesal kala itu.

Akhirnya saya memberitahu bahwa saya hamil dan mohon maaf karena belum bisa menjenguk dikarenakan kondisi saya. Otsu mengucapkan selamat dan menamakan si calon janin dengan sebutan "bebimbay" yang akhirnya saya pakai untuk lucu-lucuan memanggil si calon bayi.

Buat Otsu, saya adalah salah satu dari sekian banyak temannya yang tahan banting menerima segala omelan dan kejudesannya. Kami bisa akrab dikarenakan lokasi rumah kami yang dekat hingga akhirnya kami sering berkegiatan bersama, seperti belanja bulanan bareng dilanjutkan makan takoyaki sembari curhat di carrefour lebak bulus, nyushi tei atau sekedar makan es krim eskimo kesukaan saya di rumahnya :')

Otsu yang keras kepala, judes, outspoken dan tajam mengutarakan pendapatnya, buat sebagian orang ini sering ngagetin karena dianggap harsh, tapi buat saya ini ya Otsu, Otsu ya begini adanya. Dia selalu perfeksionis melakukan sesuatu. Dia selalu mau berusaha keras mencapai tujuannya, dan dibalik kejudesannya, dia sangat sayang sama teman-temannya.

Beberapa kali kami berdebat dan berakhir dengan berantem, akhirnya baik lagi karena kami tahu masing-masing mengusahakan terbaik akan apa yang ingin dicapai dan kami tau kami saling sayang.
Banyak rencana yang belum tercapai kita laksanakan ya Tsu, tapi aku yakin Allah SWT sudah menyiapkan sesuatu yang lebih indah buat kita semua. 

Dan pengalaman kehilangan ini membuat saya lebih belajar lagi memaknai hidup di dunia yang entah sampai kapan akan berakhir, Insya Allah...

ki-ka: Saya, Otsu dan Mendy

I'll miss you forever :*

The art of losing isn’t hard to master;
so many things seem filled with the intent
to be lost that their loss is no disaster.
Lose something every day.
Accept the flusterof lost door keys, the hour badly spent.
The art of losing isn’t hard to master.
Then practice losing farther, losing faster:
places, and names, and where it was you meant to travel.
None of these will bring disaster.
I lost my mother’s watch.
And look! my last, or next-to-last, of three loved houses went.
The art of losing isn’t hard to master.
I lost two cities, lovely ones.
And, vaster, some realms I owned, two rivers, a continent.
I miss them, but it wasn’t a disaster.
Even losing you (the joking voice, a gesture I love)
I shan’t have lied. It’s evident
the art of losing’s not too hard to master
though it may look like (Write it!) like disaster.
Elizabeth Bishop, “One Art” from The Complete Poems 1926-1979. Copyright © 1979, 1983 by Alice Helen Methfessel. Reprinted with the permission of Farrar, Straus & Giroux, LLC. 
Source: The Complete Poems 1926-1979 (Farrar, Straus and Giroux, 1983)

Comments

Popular Posts